
Judul Buku : Mengapa Saya HARUS MONDOK di Pesantren ?
Penulis : Moh. Achyat Ahmad A. Qusyairi Ismail, M. Ja’far Hadi
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Ramadhan, 1430 H.
Tebal : xvi + 248 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Apalagi ketika berbicara masalah keilmuan. Selain memang pengajarannya didasari skeptisme juga telah dirasuki pemikiran-pemikiran yang diluar frame dan mindstrem Islam. Bagaimana tidak, seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, mantan Rektor Paramadina Mulya, Jakarta. Mempunyai pemikiran Sekularisme, dan pluralisme Agama yang pada prinsipnya semua agama adalah sama. Prof. Dr. Amin Abdullah, seorang yang popular dikalangan akademisi meneriakkan pemikiran Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. Yang paling parah adalah Sulhawi Ruba, seorang dosen dari IA
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Ramadhan, 1430 H.
Tebal : xvi + 248 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*
Lembaga-lembaga Pendidikan yang berlebelkan Islam sekarang ini tidak bisa diandalkan. Seperti IAIN, UIN, STAIN, telah kehilangan orientasi keislamannya. Para Mahasiswa justru diajarkan untuk mengkritisi para ulama’, mengacuhkan kitab-kitab turats yang menjadi sumber-sumber berharga bagi ajaran Islam, bahkan lebih dari itu juga diajari untuk ragu dan kritis terhadap agamanya.
Apalagi ketika berbicara masalah keilmuan. Selain memang pengajarannya didasari skeptisme juga telah dirasuki pemikiran-pemikiran yang diluar frame dan mindstrem Islam. Bagaimana tidak, seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, mantan Rektor Paramadina Mulya, Jakarta. Mempunyai pemikiran Sekularisme, dan pluralisme Agama yang pada prinsipnya semua agama adalah sama. Prof. Dr. Amin Abdullah, seorang yang popular dikalangan akademisi meneriakkan pemikiran Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. Yang paling parah adalah Sulhawi Ruba, seorang dosen dari IA
IN Surabaya pada 5 mei 2006, sengaja menginjak-injak lafal Allah diahapan mahasiswanya yang ia tulis sendiri disecarik kertas.
Lebih dari itu semua, dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa yang membuat teriakan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan!”, serta ucapan: “Mari berdzikir dengan lafal Anjinglu Akbar!”. Tahun 2004 UIN Yogyakarta meluluskan thesis yang terang-terang menyatakan al-Qur’an bukan kitab suci, dan kemudian diterbitkan dengan judul “Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan”. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM Press malah sudah aktif mempromosikan paham pluralism Agama dan penggunaan hermeunetika untuk penafsiran al-Qur’an. Dan masih banyak lainnya, alih-alih itu semua dilakukan hanya atas dalih kebebasan berfikir dan pembaharuan.
Lengkap sudah distorsi yang menjangkit, kerusakan ilmu dan kerancuan dalam berfikir merata di berbagai perguruan tinggi Islam. Agaknya, kerusakan ini merupakan sesuatu yang diagendakan dan sengaja disusupkan secara intensif oleh musuh-musuh Islam. Sehingga hal tersebut menjadi diabolisme dalam Islam.
Ternyata, ada grand design yang mereka persiapkan guna meruntuhkan peradaban Islam yang agung. Untuk itu Barat menggunakan berbagai macam kendaraan wasternalisasi dan globalisasi untuk menyebarkan budaya, paham-paham, dan ideologi. Orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam yang berbeda dari pemahaman umat Islam sendiri.
Maka media yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiyah, seperti buku, makalah, workshop, opini yang tersebar diberbagai media elektronika dan massa.
Namun bagaimanapun, media yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep, dan ideologi tersebut adalah bangku kuliah diperguruan tinggi, melalui mulut para intelektual, saintis, budayawan, dan lain sebagainya.
Belakangan ini juga muncul tren generasi Muslim yang belajar Islam ke Barat, itu sebetulnya tidak terjadi secara alami, namun karena ada proyek Barat untuk menyebarkan pandangan-
Ilmu-ilmu Islam juga tidak bisa dicari ditempat yang tidak tepat. Mempelajari ilmu Islam memerlukan totalitas dari pelajar, sehingga pelajar, tempat belajar dan lingkungan belajar, perlu diperhitungkan dengan matang; jangan sampai jatuh pada pilihan yang salah, jangan-jangan yang akan diperoleh adalah ilmu yang salah. Semisal, mempelajari Islam di Barat yang banyak menjadi tren para pelajar masa kini.
Kajian dalam buku ini secara khusus mengarah pada konsep-konsep Islam terkait dengan bagaimana sesungguhnya Islam itu harus dipelajari. Sebab bagaimanapun, dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini telah didominasi oleh cara pandang dan nilai-nilai yang tidak Islami, banyak pemikiran yang berasal dari Barat, banyak diabolisme yang merasuk sehingga dapat menjadikan distorsi bagi agama Islam. Mempelajari Islam harus dilakukan dengan proses, rujukan, materi, sekaligus tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai fundamen dalam Islam.
Penulis memberikan supremasi bahwa tempat yang proporsional untuk mempelajari Islam adalah Pesantren. Penulis menyatakan, “hanya pesantrenlah yang selama ini mampu menjaga dan memelihara otentitas dan orisinilitas ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh ulama salaf. Ajaran-ajaran Islam di pesantren adalah yang paling steril dari distorsi, interpolasi, dan intervensi pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari luar, karena para pengajar (kiai) melakukan penjagaan yang ketat, dengan selektivitas yang tinggi, agar hal-hal baru yang datang, tidak merusak terhadap hal-hal lama yang baik, namun tetap apresiatif terhadap hal-hal baru yang lebih baik.” (halaman 183).
Buku yang berjudul “Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren ?”, ini beralur induksi. Bagi pembaca yang mempunyai jam padat lebih baik langsung membaca pada bagian terakhir. Sebab bagian awal buku tidak mengena pada judul yang disajikan.

Lebih dari itu semua, dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa yang membuat teriakan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan!”, serta ucapan: “Mari berdzikir dengan lafal Anjinglu Akbar!”. Tahun 2004 UIN Yogyakarta meluluskan thesis yang terang-terang menyatakan al-Qur’an bukan kitab suci, dan kemudian diterbitkan dengan judul “Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan”. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM Press malah sudah aktif mempromosikan paham pluralism Agama dan penggunaan hermeunetika untuk penafsiran al-Qur’an. Dan masih banyak lainnya, alih-alih itu semua dilakukan hanya atas dalih kebebasan berfikir dan pembaharuan.
Lengkap sudah distorsi yang menjangkit, kerusakan ilmu dan kerancuan dalam berfikir merata di berbagai perguruan tinggi Islam. Agaknya, kerusakan ini merupakan sesuatu yang diagendakan dan sengaja disusupkan secara intensif oleh musuh-musuh Islam. Sehingga hal tersebut menjadi diabolisme dalam Islam.
Ternyata, ada grand design yang mereka persiapkan guna meruntuhkan peradaban Islam yang agung. Untuk itu Barat menggunakan berbagai macam kendaraan wasternalisasi dan globalisasi untuk menyebarkan budaya, paham-paham, dan ideologi. Orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam yang berbeda dari pemahaman umat Islam sendiri.
Maka media yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiyah, seperti buku, makalah, workshop, opini yang tersebar diberbagai media elektronika dan massa.
Namun bagaimanapun, media yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep, dan ideologi tersebut adalah bangku kuliah diperguruan tinggi, melalui mulut para intelektual, saintis, budayawan, dan lain sebagainya.
Belakangan ini juga muncul tren generasi Muslim yang belajar Islam ke Barat, itu sebetulnya tidak terjadi secara alami, namun karena ada proyek Barat untuk menyebarkan pandangan-
pandangannya. Sudah barang tentu target mereka adalah mengubah cara Muslim memahami Islam, agar sesuai dengan cara orang Barat melihat Islam.
Kita sadar bahwa Ilmu agama bukan sesuatu yang ditemukan, namun sesuatu yang telah ada, dan diletakkan oleh Allah melalui wahyu kepada utusanNya. Maka ia tidak bisa ditemukan sebagaimana ilmu-ilmu murni ditemukan melalui penelitian lapangan, percobaan, eksplorasi, obsevasi, dan semacamnya. Ilmu agama harus mempelajari dengan sungguh-sungguh kepada orang yang memilikinya, dan telah mendapatkan pelajaran serta periwayatan yang sambung dari generasi sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad.
Kita sadar bahwa Ilmu agama bukan sesuatu yang ditemukan, namun sesuatu yang telah ada, dan diletakkan oleh Allah melalui wahyu kepada utusanNya. Maka ia tidak bisa ditemukan sebagaimana ilmu-ilmu murni ditemukan melalui penelitian lapangan, percobaan, eksplorasi, obsevasi, dan semacamnya. Ilmu agama harus mempelajari dengan sungguh-sungguh kepada orang yang memilikinya, dan telah mendapatkan pelajaran serta periwayatan yang sambung dari generasi sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad.
Ilmu-ilmu Islam juga tidak bisa dicari ditempat yang tidak tepat. Mempelajari ilmu Islam memerlukan totalitas dari pelajar, sehingga pelajar, tempat belajar dan lingkungan belajar, perlu diperhitungkan dengan matang; jangan sampai jatuh pada pilihan yang salah, jangan-jangan yang akan diperoleh adalah ilmu yang salah. Semisal, mempelajari Islam di Barat yang banyak menjadi tren para pelajar masa kini.
Buku ini ditulis dengan kesadaran akan nilai-nilai luhur yang fundamental, absolut, dan universal dalam Islam. Karena itu buku ini memberikan penjelasan kepada pembaca, bahwa mempelajari Islam jelas berbeda dengan mempelajari aspek-aspek lain diluar Islam.
Kajian dalam buku ini secara khusus mengarah pada konsep-konsep Islam terkait dengan bagaimana sesungguhnya Islam itu harus dipelajari. Sebab bagaimanapun, dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini telah didominasi oleh cara pandang dan nilai-nilai yang tidak Islami, banyak pemikiran yang berasal dari Barat, banyak diabolisme yang merasuk sehingga dapat menjadikan distorsi bagi agama Islam. Mempelajari Islam harus dilakukan dengan proses, rujukan, materi, sekaligus tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai fundamen dalam Islam.
Penulis memberikan supremasi bahwa tempat yang proporsional untuk mempelajari Islam adalah Pesantren. Penulis menyatakan, “hanya pesantrenlah yang selama ini mampu menjaga dan memelihara otentitas dan orisinilitas ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh ulama salaf. Ajaran-ajaran Islam di pesantren adalah yang paling steril dari distorsi, interpolasi, dan intervensi pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari luar, karena para pengajar (kiai) melakukan penjagaan yang ketat, dengan selektivitas yang tinggi, agar hal-hal baru yang datang, tidak merusak terhadap hal-hal lama yang baik, namun tetap apresiatif terhadap hal-hal baru yang lebih baik.” (halaman 183).
Secara langsung buku ini memberikan pesan moral bagi mahasiswa-mahasiswa alumni Islamic Studi di Barat untuk tidak terpengaruh pemikiran diabolisme yang ditanamkan oleh Barat. Dan menjadikan warning bagi mahasiswa perguruan tinggi yang berlebelkan Islam agar tidak terjerumus dalam paham-paham yang diluar mind stream Islam.
Buku yang berjudul “Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren ?”, ini beralur induksi. Bagi pembaca yang mempunyai jam padat lebih baik langsung membaca pada bagian terakhir. Sebab bagian awal buku tidak mengena pada judul yang disajikan.

*Ketum IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya. Staf Menteri Agama Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut IAIN Sunan Ampel Surabaya
