Sabtu, 10 Juli 2010

TINDAKAN PREFENTIF MENGHADAPI PEMIKIRAN DIABOLISME ISLAM





Judul Buku : Mengapa Saya HARUS MONDOK di Pesantren ?
Penulis : Moh. Achyat Ahmad A. Qusyairi Ismail, M. Ja’far Hadi
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Ramadhan, 1430 H.
Tebal : xvi + 248 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*

Lembaga-lembaga Pendidikan yang berlebelkan Islam sekarang ini tidak bisa diandalkan. Seperti IAIN, UIN, STAIN, telah kehilangan orientasi keislamannya. Para Mahasiswa justru diajarkan untuk mengkritisi para ulama’, mengacuhkan kitab-kitab turats yang menjadi sumber-sumber berharga bagi ajaran Islam, bahkan lebih dari itu juga diajari untuk ragu dan kritis terhadap agamanya.

Apalagi ketika berbicara masalah keilmuan. Selain memang pengajarannya didasari skeptisme juga telah dirasuki pemikiran-pemikiran yang diluar frame dan mindstrem Islam. Bagaimana tidak, seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, mantan Rektor Paramadina Mulya, Jakarta. Mempunyai pemikiran Sekularisme, dan pluralisme Agama yang pada prinsipnya semua agama adalah sama. Prof. Dr. Amin Abdullah, seorang yang popular dikalangan akademisi meneriakkan pemikiran Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. Yang paling parah adalah Sulhawi Ruba, seorang dosen dari IA
IN Surabaya pada 5 mei 2006, sengaja menginjak-injak lafal Allah diahapan mahasiswanya yang ia tulis sendiri disecarik kertas.

Lebih dari itu semua, dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa yang membuat teriakan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan!”, serta ucapan: “Mari berdzikir dengan lafal Anjinglu Akbar!”. Tahun 2004 UIN Yogyakarta meluluskan thesis yang terang-terang menyatakan al-Qur’an bukan kitab suci, dan kemudian diterbitkan dengan judul “Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan”. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM Press malah sudah aktif mempromosikan paham pluralism Agama dan penggunaan hermeunetika untuk penafsiran al-Qur’an. Dan masih banyak lainnya, alih-alih itu semua dilakukan hanya atas dalih kebebasan berfikir dan pembaharuan.

Lengkap sudah distorsi yang menjangkit, kerusakan ilmu dan kerancuan dalam berfikir merata di berbagai perguruan tinggi Islam. Agaknya, kerusakan ini merupakan sesuatu yang diagendakan dan sengaja disusupkan secara intensif oleh musuh-musuh Islam. Sehingga hal tersebut menjadi diabolisme dalam Islam.

Ternyata, ada grand design yang mereka persiapkan guna meruntuhkan peradaban Islam yang agung. Untuk itu Barat menggunakan berbagai macam kendaraan wasternalisasi dan globalisasi untuk menyebarkan budaya, paham-paham, dan ideologi. Orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam yang berbeda dari pemahaman umat Islam sendiri.

Maka media yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiyah, seperti buku, makalah, workshop, opini yang tersebar diberbagai media elektronika dan massa.

Namun bagaimanapun, media yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep, dan ideologi tersebut adalah bangku kuliah diperguruan tinggi, melalui mulut para intelektual, saintis, budayawan, dan lain sebagainya.

Belakangan ini juga muncul tren generasi Muslim yang belajar Islam ke Barat, itu sebetulnya tidak terjadi secara alami, namun karena ada proyek Barat untuk menyebarkan pandangan-
pandangannya. Sudah barang tentu target mereka adalah mengubah cara Muslim memahami Islam, agar sesuai dengan cara orang Barat melihat Islam.

Kita sadar bahwa Ilmu agama bukan sesuatu yang ditemukan, namun sesuatu yang telah ada, dan diletakkan oleh Allah melalui wahyu kepada utusanNya. Maka ia tidak bisa ditemukan sebagaimana ilmu-ilmu murni ditemukan melalui penelitian lapangan, percobaan, eksplorasi, obsevasi, dan semacamnya. Ilmu agama harus mempelajari dengan sungguh-sungguh kepada orang yang memilikinya, dan telah mendapatkan pelajaran serta periwayatan yang sambung dari generasi sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad.

Ilmu-ilmu Islam juga tidak bisa dicari ditempat yang tidak tepat. Mempelajari ilmu Islam memerlukan totalitas dari pelajar, sehingga pelajar, tempat belajar dan lingkungan belajar, perlu diperhitungkan dengan matang; jangan sampai jatuh pada pilihan yang salah, jangan-jangan yang akan diperoleh adalah ilmu yang salah. Semisal, mempelajari Islam di Barat yang banyak menjadi tren para pelajar masa kini.

Buku ini ditulis dengan kesadaran akan nilai-nilai luhur yang fundamental, absolut, dan universal dalam Islam. Karena itu buku ini memberikan penjelasan kepada pembaca, bahwa mempelajari Islam jelas berbeda dengan mempelajari aspek-aspek lain diluar Islam.

Kajian dalam buku ini secara khusus mengarah pada konsep-konsep Islam terkait dengan bagaimana sesungguhnya Islam itu harus dipelajari. Sebab bagaimanapun, dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini telah didominasi oleh cara pandang dan nilai-nilai yang tidak Islami, banyak pemikiran yang berasal dari Barat, banyak diabolisme yang merasuk sehingga dapat menjadikan distorsi bagi agama Islam. Mempelajari Islam harus dilakukan dengan proses, rujukan, materi, sekaligus tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai fundamen dalam Islam.

Penulis memberikan supremasi bahwa tempat yang proporsional untuk mempelajari Islam adalah Pesantren. Penulis menyatakan, “hanya pesantrenlah yang selama ini mampu menjaga dan memelihara otentitas dan orisinilitas ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh ulama salaf. Ajaran-ajaran Isla
m di pesantren adalah yang paling steril dari distorsi, interpolasi, dan intervensi pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari luar, karena para pengajar (kiai) melakukan penjagaan yang ketat, dengan selektivitas yang tinggi, agar hal-hal baru yang datang, tidak merusak terhadap hal-hal lama yang baik, namun tetap apresiatif terhadap hal-hal baru yang lebih baik.” (halaman 183).

Secara langsung buku ini memberikan pesan moral bagi mahasiswa-mahasiswa alumni Islamic Studi di Barat untuk tidak terpengaruh pemikiran diabolisme yang ditanamkan oleh Barat. Dan menjadikan warning bagi mahasiswa perguruan tinggi yang berlebelkan Islam agar tidak terjerumus dalam paham-paham yang diluar mind stream Islam.

Buku yang berjudul “Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren ?”, ini beralur induksi. Bagi pembaca yang mempunyai jam padat lebih baik langsung membaca pada bagian terakhir. Sebab bagian awal buku tidak mengena pada judul yang disajikan.



*Ketum IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya. Staf Menteri Agama Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut IAIN Sunan Ampel Surabaya

Kamis, 01 Juli 2010

Khilafah; Antara Idealitas dan Realitas


Beberapa waktu yang lalu, penulis mengikuti sebuah kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, MA, seorang pakar hukum Islam yang kini menduduki jabatan sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam kuliah umum yang bertemakan peran syariat Islam dan sarjana fakultas syariah dalam pembangunan hukum nasional itu, beliau mengulas dengan cukup panjang mengenai kontribusi syariat Islam yang dewasa ini mulai diminati oleh banyak kalangan, baik akademisi maupun praktisi. Sebagai contoh, saat ini perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang kian pesat. Untuk itu, kewenangan pengadilan agama pun mengalami penambahan, tidak hanya menyelesaikan kasus perceraian, waris dan lain sebaginya tapi juga menyelesaikan kasus-kasus yang berkenaan dengan sengketa ekonomi Islam. Keadaan yang demikian ini tentunya membuka peluang yang cukup besar bagi sarjana fakultas syariah untuk terjun ke lapangan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi keilmuannya. Jadi, sarjana fakultas syariah tidak perlu khawatir nganggur, tutur beliau.

Selanjutnya dalam sesi tanya jawab yang dipimpin oleh Bapak Arif jamaluddin, Kajur Prodi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah, terdapat salah seorang mahasiswa yang mengungkapkan apresiasinya yang begitu besar terhadap apa yang telah dipaparkan oleh Narasumber. “Syariat Islam, sebagaimana yang dipaparkan oleh narasumber, terbukti mulai banyak diminati oleh masyarakat kita”, demikian tuturnya. Selanjutnya, pada bagian akhir ia meneruskan kalimatnya, “kalau memang demikian, alangkah baiknya jika kita saat ini menerapkan syariat Islam secara kaffah”. Sontak pernyataannya tersebut disambut riuh oleh para peserta lainnya. Mereka pun langsung bisa menebak bahwa sang penanya tersebut adalah kader Hizbut Tahrir Indonesia.

Tidak Harus Khilafah
Tegakkan khilafah, demikianlah jargon yang sering diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia di manapun mereka berada. Khilafah bagi mereka seakan menduduki peringkat utama dalam ajaran Islam layaknya shalat, puasa dan zakat. Seseorang seolah belum dianggap sempurna keislamannya sebelum menegakkan khilafah. Bahkan dalam salah satu karyanya, Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, mengatakan bahwa seseorang yang berpangku tangan tidak mau berusaha mendirikan negara khilafah, maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar.

Kader-kader Hizbut Tahrir Indonesia selama ini memang terkenal dengan kesolidan serta militansinya yang kuat dalam memperjuangkan ideologi transnasionalnya. Mereka betul-betul terdoktrin untuk menyampaikan pentingnya sistem khilafah dan upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di manapun mereka berada, tak terkecuali dalam kuliah umum tersebut. Hizbut Tahrir dan Khilafah ibarat dua mata uang yang selalu melekat dan tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. di mana ada Hizbut Tahrir, di situ pasti ada seruan untuk mendirikan khilafah dan menjalankan syariat Islam secara kaffah.

Dalam pandangan penulis, menjalankan syariat Islam adalah kewajiban bagi setiap individu muslim. Hanya saja dalam konteks bernegara, terutama negara yang majemuk layaknya Indonesia, apakah kewajiban melaksanakan syariat Islam itu harus ditempuh melalui sistem khilafah?, dan bukan melalui sistem-sistem lainnya seperti demokrasi pancasila.

Dalam tataran idealitas, sistem khilafah sebagaimana yang dipraktikkan oleh khulafa’ ar-Rasyidun merupakan sesuatu yang ideal. Syariat Islam dijalankan dengan sepenuh hati dan umat Islam pun dibawah satu komando kepemimpinan, yaitu khalifah, sosok sahabat yang sangat alim dan dekat dengan Nabi. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwasannya tataran idealitas itu seringkali berbenturan dengan tataran realitas. Setiap orang pasti menginginkan isteri yang cantik, pintar, shalehah dan keturunan bangsawan, karena memang demikianlah idealnya seorang isteri itu. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan untuk memiliki isteri dengan kriteria-kriteria di atas sangatlah sulit, terlebih di era modern saat ini. Untuk itulah seseorang harus pandai-pandai memadukan antara idealitas dan realitas. Bukan tidak mungkin seseorang itu akan membujang selamanya ketika ia tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap memiliki isteri yang sedemikian ideal.

Jika seseorang tetap bersikukuh mempertahankan idealitasnya, tentunya hal itu akan mempersulit dirinya sendiri. Begitupun halnya ketika seseorang terlalu berpacu pada realitas tanpa kendali idealitas, tentu ia akan terus terombang-ambing oleh laju perputaran masa tanpa memiliki benteng pertahanan yang mampu menahannya dari pengaruh negatif. Untuk itulah kita dituntut untuk bersikap arif, yaitu dengan cara mengambil sikap tengah, perpaduan antara idealitas dan realitas. Sebuah adagium mengatakan al-Islam baina al-Mitsaliyyah wa al-Waqi’iyyah, Islam itu antara idealitas dan realitas. Adagium lain juga mengatakan maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluh, bahwasannya sesuatu yang tidak bisa dicapai secara maksimal, itu bukan berarti ia boleh ditinggalkan sama sekali. Seseorang yang tidak memiliki wudhu karena ketiadaan air bukan berarti ia terbebas dari kewajiban menjalankan shalat, barangkali demikian contoh sederhananya.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas saat ini sangat jauh berbeda dengan realitas pada masa kepemimpinan Rasulullah dan khulafa’ ar-Rasyidun. Permasalahan yang kita hadapi saat ini jauh lebih kompleks dari permasalahan yang dulu mereka alami. Alih-alih menyatukan umat Islam seluruh dunia dalam satu kepemimpinan seorang khalifah, menyatukan suara warga nahdliyyin saja dalam momentum pilpres, pilgub dan pil-pil yang lain adalah sesuatu bisa dikatakan mustahil. Namun demikian, ketidakmampuan kita untuk menegakkan negara dengan sistem khilafah itu bukan berarti kita tidak mampu melaksanakan syariat Islam. Syariat Islam tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mendirikan negara khilafah. Syariat Islam juga bisa dilaksanakan tanpa harus mengabaikan nilai-nilai lokal yang ada dan juga tanpa harus merubah status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah.

Maka dari itu, penulis justeru lebih memahami realita maraknya pengadopsian syariat Islam sebagai sistem hukum nasional ataupun sistem ekonomi perbankan di Indonesia dewasa ini sebagai bukti bahwa syariat Islam bisa diterima tanpa harus mengusung negara khilafah. Intinya terletak pada bagaimana kita mengkomukasikan syariat Islam tersebut dengan realita yang ada, sehingga syariat Islam tidak terkesan rigid, kaku dan pada akhirnya bisa diterima oleh masyarakat luas tanpa perlu memaksakannya. Wallahu ‘alam bi as-shawab………

* Penulis pernah menjabat sebagai ketua umum IPNU Komisariat IAIN Sunan Ampel masa khitmat 2008-2009