
Beberapa waktu yang lalu, penulis mengikuti sebuah kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, MA, seorang pakar hukum Islam yang kini menduduki jabatan sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam kuliah umum yang bertemakan peran syariat Islam dan sarjana fakultas syariah dalam pembangunan hukum nasional itu, beliau mengulas dengan cukup panjang mengenai kontribusi syariat Islam yang dewasa ini mulai diminati oleh banyak kalangan, baik akademisi maupun praktisi. Sebagai contoh, saat ini perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang kian pesat. Untuk itu, kewenangan pengadilan agama pun mengalami penambahan, tidak hanya menyelesaikan kasus perceraian, waris dan lain sebaginya tapi juga menyelesaikan kasus-kasus yang berkenaan dengan sengketa ekonomi Islam. Keadaan yang demikian ini tentunya membuka peluang yang cukup besar bagi sarjana fakultas syariah untuk terjun ke lapangan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi keilmuannya. Jadi, sarjana fakultas syariah tidak perlu khawatir nganggur, tutur beliau.
Selanjutnya dalam sesi tanya jawab yang dipimpin oleh Bapak Arif jamaluddin, Kajur Prodi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah, terdapat salah seorang mahasiswa yang mengungkapkan apresiasinya yang begitu besar terhadap apa yang telah dipaparkan oleh Narasumber. “Syariat Islam, sebagaimana yang dipaparkan oleh narasumber, terbukti mulai banyak diminati oleh masyarakat kita”, demikian tuturnya. Selanjutnya, pada bagian akhir ia meneruskan kalimatnya, “kalau memang demikian, alangkah baiknya jika kita saat ini menerapkan syariat Islam secara kaffah”. Sontak pernyataannya tersebut disambut riuh oleh para peserta lainnya. Mereka pun langsung bisa menebak bahwa sang penanya tersebut adalah kader Hizbut Tahrir Indonesia.
Tidak Harus Khilafah
Tegakkan khilafah, demikianlah jargon yang sering diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia di manapun mereka berada. Khilafah bagi mereka seakan menduduki peringkat utama dalam ajaran Islam layaknya shalat, puasa dan zakat. Seseorang seolah belum dianggap sempurna keislamannya sebelum menegakkan khilafah. Bahkan dalam salah satu karyanya, Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, mengatakan bahwa seseorang yang berpangku tangan tidak mau berusaha mendirikan negara khilafah, maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar.
Kader-kader Hizbut Tahrir Indonesia selama ini memang terkenal dengan kesolidan serta militansinya yang kuat dalam memperjuangkan ideologi transnasionalnya. Mereka betul-betul terdoktrin untuk menyampaikan pentingnya sistem khilafah dan upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di manapun mereka berada, tak terkecuali dalam kuliah umum tersebut. Hizbut Tahrir dan Khilafah ibarat dua mata uang yang selalu melekat dan tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. di mana ada Hizbut Tahrir, di situ pasti ada seruan untuk mendirikan khilafah dan menjalankan syariat Islam secara kaffah.
Dalam pandangan penulis, menjalankan syariat Islam adalah kewajiban bagi setiap individu muslim. Hanya saja dalam konteks bernegara, terutama negara yang majemuk layaknya Indonesia, apakah kewajiban melaksanakan syariat Islam itu harus ditempuh melalui sistem khilafah?, dan bukan melalui sistem-sistem lainnya seperti demokrasi pancasila.
Dalam tataran idealitas, sistem khilafah sebagaimana yang dipraktikkan oleh khulafa’ ar-Rasyidun merupakan sesuatu yang ideal. Syariat Islam dijalankan dengan sepenuh hati dan umat Islam pun dibawah satu komando kepemimpinan, yaitu khalifah, sosok sahabat yang sangat alim dan dekat dengan Nabi. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwasannya tataran idealitas itu seringkali berbenturan dengan tataran realitas. Setiap orang pasti menginginkan isteri yang cantik, pintar, shalehah dan keturunan bangsawan, karena memang demikianlah idealnya seorang isteri itu. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan untuk memiliki isteri dengan kriteria-kriteria di atas sangatlah sulit, terlebih di era modern saat ini. Untuk itulah seseorang harus pandai-pandai memadukan antara idealitas dan realitas. Bukan tidak mungkin seseorang itu akan membujang selamanya ketika ia tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap memiliki isteri yang sedemikian ideal.
Jika seseorang tetap bersikukuh mempertahankan idealitasnya, tentunya hal itu akan mempersulit dirinya sendiri. Begitupun halnya ketika seseorang terlalu berpacu pada realitas tanpa kendali idealitas, tentu ia akan terus terombang-ambing oleh laju perputaran masa tanpa memiliki benteng pertahanan yang mampu menahannya dari pengaruh negatif. Untuk itulah kita dituntut untuk bersikap arif, yaitu dengan cara mengambil sikap tengah, perpaduan antara idealitas dan realitas. Sebuah adagium mengatakan al-Islam baina al-Mitsaliyyah wa al-Waqi’iyyah, Islam itu antara idealitas dan realitas. Adagium lain juga mengatakan maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluh, bahwasannya sesuatu yang tidak bisa dicapai secara maksimal, itu bukan berarti ia boleh ditinggalkan sama sekali. Seseorang yang tidak memiliki wudhu karena ketiadaan air bukan berarti ia terbebas dari kewajiban menjalankan shalat, barangkali demikian contoh sederhananya.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas saat ini sangat jauh berbeda dengan realitas pada masa kepemimpinan Rasulullah dan khulafa’ ar-Rasyidun. Permasalahan yang kita hadapi saat ini jauh lebih kompleks dari permasalahan yang dulu mereka alami. Alih-alih menyatukan umat Islam seluruh dunia dalam satu kepemimpinan seorang khalifah, menyatukan suara warga nahdliyyin saja dalam momentum pilpres, pilgub dan pil-pil yang lain adalah sesuatu bisa dikatakan mustahil. Namun demikian, ketidakmampuan kita untuk menegakkan negara dengan sistem khilafah itu bukan berarti kita tidak mampu melaksanakan syariat Islam. Syariat Islam tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mendirikan negara khilafah. Syariat Islam juga bisa dilaksanakan tanpa harus mengabaikan nilai-nilai lokal yang ada dan juga tanpa harus merubah status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah.
Maka dari itu, penulis justeru lebih memahami realita maraknya pengadopsian syariat Islam sebagai sistem hukum nasional ataupun sistem ekonomi perbankan di Indonesia dewasa ini sebagai bukti bahwa syariat Islam bisa diterima tanpa harus mengusung negara khilafah. Intinya terletak pada bagaimana kita mengkomukasikan syariat Islam tersebut dengan realita yang ada, sehingga syariat Islam tidak terkesan rigid, kaku dan pada akhirnya bisa diterima oleh masyarakat luas tanpa perlu memaksakannya. Wallahu ‘alam bi as-shawab………
* Penulis pernah menjabat sebagai ketua umum IPNU Komisariat IAIN Sunan Ampel masa khitmat 2008-2009
setuju pak
BalasHapuslike this, 2 jempol buat penulis ini
KH. Said Agil Siraj dawuh ketika kuliah terbuka di ruang sidang Rektorat, "Nabi Muhammad tidak hendak mendirikan negara Islam, namun Beliau mendirikan Negara Madinah yang damai saling toleran dan berkemanusiaan". Hal ini menunjukkan, Nabi Muhammad pun tidak mendirikan Daulah Islamiyah. Sebuah aqaid yang fatal dari HTI yang tetap ngotot mendirikan negara Islam. Namun tidak semua hal yang dilakoni HTI salah. Hal yang perlu kita tiru dan dijadikan contoh adalah loyalitas dan militansi mereka pada organisasi
BalasHapus