Sabtu, 10 Juli 2010

TINDAKAN PREFENTIF MENGHADAPI PEMIKIRAN DIABOLISME ISLAM





Judul Buku : Mengapa Saya HARUS MONDOK di Pesantren ?
Penulis : Moh. Achyat Ahmad A. Qusyairi Ismail, M. Ja’far Hadi
Penerbit : Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan : Ramadhan, 1430 H.
Tebal : xvi + 248 halaman
Peresensi : Rangga Sa’adillah S.A.P.*

Lembaga-lembaga Pendidikan yang berlebelkan Islam sekarang ini tidak bisa diandalkan. Seperti IAIN, UIN, STAIN, telah kehilangan orientasi keislamannya. Para Mahasiswa justru diajarkan untuk mengkritisi para ulama’, mengacuhkan kitab-kitab turats yang menjadi sumber-sumber berharga bagi ajaran Islam, bahkan lebih dari itu juga diajari untuk ragu dan kritis terhadap agamanya.

Apalagi ketika berbicara masalah keilmuan. Selain memang pengajarannya didasari skeptisme juga telah dirasuki pemikiran-pemikiran yang diluar frame dan mindstrem Islam. Bagaimana tidak, seperti Prof. Dr. Nurcholis Madjid, mantan Rektor Paramadina Mulya, Jakarta. Mempunyai pemikiran Sekularisme, dan pluralisme Agama yang pada prinsipnya semua agama adalah sama. Prof. Dr. Amin Abdullah, seorang yang popular dikalangan akademisi meneriakkan pemikiran Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an. Yang paling parah adalah Sulhawi Ruba, seorang dosen dari IA
IN Surabaya pada 5 mei 2006, sengaja menginjak-injak lafal Allah diahapan mahasiswanya yang ia tulis sendiri disecarik kertas.

Lebih dari itu semua, dari IAIN Bandung, pernah muncul kasus sejumlah mahasiswa yang membuat teriakan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan!”, serta ucapan: “Mari berdzikir dengan lafal Anjinglu Akbar!”. Tahun 2004 UIN Yogyakarta meluluskan thesis yang terang-terang menyatakan al-Qur’an bukan kitab suci, dan kemudian diterbitkan dengan judul “Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan”. Di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). UMM Press malah sudah aktif mempromosikan paham pluralism Agama dan penggunaan hermeunetika untuk penafsiran al-Qur’an. Dan masih banyak lainnya, alih-alih itu semua dilakukan hanya atas dalih kebebasan berfikir dan pembaharuan.

Lengkap sudah distorsi yang menjangkit, kerusakan ilmu dan kerancuan dalam berfikir merata di berbagai perguruan tinggi Islam. Agaknya, kerusakan ini merupakan sesuatu yang diagendakan dan sengaja disusupkan secara intensif oleh musuh-musuh Islam. Sehingga hal tersebut menjadi diabolisme dalam Islam.

Ternyata, ada grand design yang mereka persiapkan guna meruntuhkan peradaban Islam yang agung. Untuk itu Barat menggunakan berbagai macam kendaraan wasternalisasi dan globalisasi untuk menyebarkan budaya, paham-paham, dan ideologi. Orientalisme dimanfaatkan untuk membaca pemikiran Islam yang berbeda dari pemahaman umat Islam sendiri.

Maka media yang digunakan untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiyah, seperti buku, makalah, workshop, opini yang tersebar diberbagai media elektronika dan massa.

Namun bagaimanapun, media yang paling efektif bagi penyebaran teori, konsep, dan ideologi tersebut adalah bangku kuliah diperguruan tinggi, melalui mulut para intelektual, saintis, budayawan, dan lain sebagainya.

Belakangan ini juga muncul tren generasi Muslim yang belajar Islam ke Barat, itu sebetulnya tidak terjadi secara alami, namun karena ada proyek Barat untuk menyebarkan pandangan-
pandangannya. Sudah barang tentu target mereka adalah mengubah cara Muslim memahami Islam, agar sesuai dengan cara orang Barat melihat Islam.

Kita sadar bahwa Ilmu agama bukan sesuatu yang ditemukan, namun sesuatu yang telah ada, dan diletakkan oleh Allah melalui wahyu kepada utusanNya. Maka ia tidak bisa ditemukan sebagaimana ilmu-ilmu murni ditemukan melalui penelitian lapangan, percobaan, eksplorasi, obsevasi, dan semacamnya. Ilmu agama harus mempelajari dengan sungguh-sungguh kepada orang yang memilikinya, dan telah mendapatkan pelajaran serta periwayatan yang sambung dari generasi sebelumnya sampai pada Nabi Muhammad.

Ilmu-ilmu Islam juga tidak bisa dicari ditempat yang tidak tepat. Mempelajari ilmu Islam memerlukan totalitas dari pelajar, sehingga pelajar, tempat belajar dan lingkungan belajar, perlu diperhitungkan dengan matang; jangan sampai jatuh pada pilihan yang salah, jangan-jangan yang akan diperoleh adalah ilmu yang salah. Semisal, mempelajari Islam di Barat yang banyak menjadi tren para pelajar masa kini.

Buku ini ditulis dengan kesadaran akan nilai-nilai luhur yang fundamental, absolut, dan universal dalam Islam. Karena itu buku ini memberikan penjelasan kepada pembaca, bahwa mempelajari Islam jelas berbeda dengan mempelajari aspek-aspek lain diluar Islam.

Kajian dalam buku ini secara khusus mengarah pada konsep-konsep Islam terkait dengan bagaimana sesungguhnya Islam itu harus dipelajari. Sebab bagaimanapun, dunia pendidikan yang berkembang dewasa ini telah didominasi oleh cara pandang dan nilai-nilai yang tidak Islami, banyak pemikiran yang berasal dari Barat, banyak diabolisme yang merasuk sehingga dapat menjadikan distorsi bagi agama Islam. Mempelajari Islam harus dilakukan dengan proses, rujukan, materi, sekaligus tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai fundamen dalam Islam.

Penulis memberikan supremasi bahwa tempat yang proporsional untuk mempelajari Islam adalah Pesantren. Penulis menyatakan, “hanya pesantrenlah yang selama ini mampu menjaga dan memelihara otentitas dan orisinilitas ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh ulama salaf. Ajaran-ajaran Isla
m di pesantren adalah yang paling steril dari distorsi, interpolasi, dan intervensi pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari luar, karena para pengajar (kiai) melakukan penjagaan yang ketat, dengan selektivitas yang tinggi, agar hal-hal baru yang datang, tidak merusak terhadap hal-hal lama yang baik, namun tetap apresiatif terhadap hal-hal baru yang lebih baik.” (halaman 183).

Secara langsung buku ini memberikan pesan moral bagi mahasiswa-mahasiswa alumni Islamic Studi di Barat untuk tidak terpengaruh pemikiran diabolisme yang ditanamkan oleh Barat. Dan menjadikan warning bagi mahasiswa perguruan tinggi yang berlebelkan Islam agar tidak terjerumus dalam paham-paham yang diluar mind stream Islam.

Buku yang berjudul “Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren ?”, ini beralur induksi. Bagi pembaca yang mempunyai jam padat lebih baik langsung membaca pada bagian terakhir. Sebab bagian awal buku tidak mengena pada judul yang disajikan.



*Ketum IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya. Staf Menteri Agama Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut IAIN Sunan Ampel Surabaya

Kamis, 01 Juli 2010

Khilafah; Antara Idealitas dan Realitas


Beberapa waktu yang lalu, penulis mengikuti sebuah kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. Rifyal Ka’bah, MA, seorang pakar hukum Islam yang kini menduduki jabatan sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam kuliah umum yang bertemakan peran syariat Islam dan sarjana fakultas syariah dalam pembangunan hukum nasional itu, beliau mengulas dengan cukup panjang mengenai kontribusi syariat Islam yang dewasa ini mulai diminati oleh banyak kalangan, baik akademisi maupun praktisi. Sebagai contoh, saat ini perbankan syariah sudah mengalami perkembangan yang kian pesat. Untuk itu, kewenangan pengadilan agama pun mengalami penambahan, tidak hanya menyelesaikan kasus perceraian, waris dan lain sebaginya tapi juga menyelesaikan kasus-kasus yang berkenaan dengan sengketa ekonomi Islam. Keadaan yang demikian ini tentunya membuka peluang yang cukup besar bagi sarjana fakultas syariah untuk terjun ke lapangan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi keilmuannya. Jadi, sarjana fakultas syariah tidak perlu khawatir nganggur, tutur beliau.

Selanjutnya dalam sesi tanya jawab yang dipimpin oleh Bapak Arif jamaluddin, Kajur Prodi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah, terdapat salah seorang mahasiswa yang mengungkapkan apresiasinya yang begitu besar terhadap apa yang telah dipaparkan oleh Narasumber. “Syariat Islam, sebagaimana yang dipaparkan oleh narasumber, terbukti mulai banyak diminati oleh masyarakat kita”, demikian tuturnya. Selanjutnya, pada bagian akhir ia meneruskan kalimatnya, “kalau memang demikian, alangkah baiknya jika kita saat ini menerapkan syariat Islam secara kaffah”. Sontak pernyataannya tersebut disambut riuh oleh para peserta lainnya. Mereka pun langsung bisa menebak bahwa sang penanya tersebut adalah kader Hizbut Tahrir Indonesia.

Tidak Harus Khilafah
Tegakkan khilafah, demikianlah jargon yang sering diusung oleh Hizbut Tahrir Indonesia di manapun mereka berada. Khilafah bagi mereka seakan menduduki peringkat utama dalam ajaran Islam layaknya shalat, puasa dan zakat. Seseorang seolah belum dianggap sempurna keislamannya sebelum menegakkan khilafah. Bahkan dalam salah satu karyanya, Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, mengatakan bahwa seseorang yang berpangku tangan tidak mau berusaha mendirikan negara khilafah, maka sesungguhnya ia telah melakukan dosa besar.

Kader-kader Hizbut Tahrir Indonesia selama ini memang terkenal dengan kesolidan serta militansinya yang kuat dalam memperjuangkan ideologi transnasionalnya. Mereka betul-betul terdoktrin untuk menyampaikan pentingnya sistem khilafah dan upaya menerapkan syariat Islam secara kaffah di manapun mereka berada, tak terkecuali dalam kuliah umum tersebut. Hizbut Tahrir dan Khilafah ibarat dua mata uang yang selalu melekat dan tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. di mana ada Hizbut Tahrir, di situ pasti ada seruan untuk mendirikan khilafah dan menjalankan syariat Islam secara kaffah.

Dalam pandangan penulis, menjalankan syariat Islam adalah kewajiban bagi setiap individu muslim. Hanya saja dalam konteks bernegara, terutama negara yang majemuk layaknya Indonesia, apakah kewajiban melaksanakan syariat Islam itu harus ditempuh melalui sistem khilafah?, dan bukan melalui sistem-sistem lainnya seperti demokrasi pancasila.

Dalam tataran idealitas, sistem khilafah sebagaimana yang dipraktikkan oleh khulafa’ ar-Rasyidun merupakan sesuatu yang ideal. Syariat Islam dijalankan dengan sepenuh hati dan umat Islam pun dibawah satu komando kepemimpinan, yaitu khalifah, sosok sahabat yang sangat alim dan dekat dengan Nabi. Namun yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwasannya tataran idealitas itu seringkali berbenturan dengan tataran realitas. Setiap orang pasti menginginkan isteri yang cantik, pintar, shalehah dan keturunan bangsawan, karena memang demikianlah idealnya seorang isteri itu. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan untuk memiliki isteri dengan kriteria-kriteria di atas sangatlah sulit, terlebih di era modern saat ini. Untuk itulah seseorang harus pandai-pandai memadukan antara idealitas dan realitas. Bukan tidak mungkin seseorang itu akan membujang selamanya ketika ia tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk tetap memiliki isteri yang sedemikian ideal.

Jika seseorang tetap bersikukuh mempertahankan idealitasnya, tentunya hal itu akan mempersulit dirinya sendiri. Begitupun halnya ketika seseorang terlalu berpacu pada realitas tanpa kendali idealitas, tentu ia akan terus terombang-ambing oleh laju perputaran masa tanpa memiliki benteng pertahanan yang mampu menahannya dari pengaruh negatif. Untuk itulah kita dituntut untuk bersikap arif, yaitu dengan cara mengambil sikap tengah, perpaduan antara idealitas dan realitas. Sebuah adagium mengatakan al-Islam baina al-Mitsaliyyah wa al-Waqi’iyyah, Islam itu antara idealitas dan realitas. Adagium lain juga mengatakan maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluh, bahwasannya sesuatu yang tidak bisa dicapai secara maksimal, itu bukan berarti ia boleh ditinggalkan sama sekali. Seseorang yang tidak memiliki wudhu karena ketiadaan air bukan berarti ia terbebas dari kewajiban menjalankan shalat, barangkali demikian contoh sederhananya.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas saat ini sangat jauh berbeda dengan realitas pada masa kepemimpinan Rasulullah dan khulafa’ ar-Rasyidun. Permasalahan yang kita hadapi saat ini jauh lebih kompleks dari permasalahan yang dulu mereka alami. Alih-alih menyatukan umat Islam seluruh dunia dalam satu kepemimpinan seorang khalifah, menyatukan suara warga nahdliyyin saja dalam momentum pilpres, pilgub dan pil-pil yang lain adalah sesuatu bisa dikatakan mustahil. Namun demikian, ketidakmampuan kita untuk menegakkan negara dengan sistem khilafah itu bukan berarti kita tidak mampu melaksanakan syariat Islam. Syariat Islam tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mendirikan negara khilafah. Syariat Islam juga bisa dilaksanakan tanpa harus mengabaikan nilai-nilai lokal yang ada dan juga tanpa harus merubah status Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah.

Maka dari itu, penulis justeru lebih memahami realita maraknya pengadopsian syariat Islam sebagai sistem hukum nasional ataupun sistem ekonomi perbankan di Indonesia dewasa ini sebagai bukti bahwa syariat Islam bisa diterima tanpa harus mengusung negara khilafah. Intinya terletak pada bagaimana kita mengkomukasikan syariat Islam tersebut dengan realita yang ada, sehingga syariat Islam tidak terkesan rigid, kaku dan pada akhirnya bisa diterima oleh masyarakat luas tanpa perlu memaksakannya. Wallahu ‘alam bi as-shawab………

* Penulis pernah menjabat sebagai ketua umum IPNU Komisariat IAIN Sunan Ampel masa khitmat 2008-2009

Kamis, 24 Juni 2010

Memahami Ideologi IPNU-IPPNU


Ideologi sering diartikan sebagai pandangan hidup atau seperangkat nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan karenanya ia diposisikan sebagai pijakan dalam mengambil sikap dan keputusan. Namun demikian, ideologi sebagai pandangan hidup berbeda dengan agama. Ideologi bersumber dari hasil perenungan dan pemikiran yang mendalam seorang manusia sedangkan agama bersumber dari Allah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi pedoman hidup manusia. Menurut Kiai Ahmad Shiddiq, ada berbagai rumusan tentang ideologi. Pada pokonya ideologi diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita (filsafatnya, progam perjuangannya, taktik strateginya, sasarannya dan lain-lain). Demikian kompleksnya hal-hal yang terkandung dalam suatu ideologi, sehingga mempengaruhi watak tingkah laku penganutnya sehari-hari.

Dalam organisasi, ideologi merupakan hal yang sangat penting, sebab dari ideologi itulah nantinya seseorang akan dapat merumuskan strategi perjuangan serta progam-progam apa saja yang semestinya dicanangkan. Tanpa ideologi, keberadaan suatu organisasi tak ubahnya seperti kendaraan yang melaju tanpa mengetahui arah serta tujuan yang akan dicapainya.

Ideologi Aswaja

IPNU-IPPNU sebagai oragnisasi sayap NU (Banom), secara ideologi tentunya mengikuti organ induknya, yaitu Nahdlatul Ulama’. Hal ini dikarenakan keberadaan IPNU-IPPNU itu sendiri adalah untuk mengawal serta menjaring kader-kader muda NU yang umumnya tersebar diberbagai tempat, di sekolah, pesantren, kampus dan juga di pelosok-pelosok desa. Kader-kader muda inilah yang nantinya akan meneruskan estafet kepemimpinan NU di masa depan.

Ideologi IPNU-IPPNU adalaha ideologi Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan karakter moderat (tawassuth), seimbang/proposional (tawazun) dan toleran (tasamuh). Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal. Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Aswaja sebagai ideologi IPNU-IPPNU, memposisikan agama (Islam) secara seimbang (tawazun). Agama tidak hanya diposisikan sebagai institusi pelayanan terhadap otoritas Tuhan (teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap manusia (antroposentris). Tidak pula sebaliknya, agama hanya diposisikan sebagai institusi sosial yang membatasi perhatiannya pada pelayanan sosial dengan mengabaikan dimensi ketuhanan. Dalam konteks ini, IPNU-IPPNU mempunyai pandangan bahwa agama disamping sebagai institusi ketuhanan, ia juga merupakan institusi sosial yang keduanya ibarat dua mata uang yang tidak dapat saling dipisahkan, atau dipilih salah satu darinya dengan membuang yang lain.

Lingkup Perjuangan IPNU-IPPNU

Dengan corak ideologi yang dimilikinya inilah, lingkup perjuangan IPNU-IPPNU tidak hanya berkutat pada masalah keagamaan an sich (pelestarian tradisi NU) sebagaimana yang sementara ini dipersepsikan sebagian kalangan. Lebih dari itu, lingkup perjuangan IPNU-IPPNU pada dasarnya juga meliputi hal-hal yang bersentuhan langsung dengan realita sosial, baik yang berkenaan dengan masalah sosial itu sendiri ataupun masalah-masalah kebangsaan lainnya. Hanya saja sebagai organisasi kepemudaan yang berada dalam naungan NU, IPNU-IPPNU lebih menfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah ke “pelajaran” dengan asumsi bahwa para pelajar itulah yang nantinya akan mengendalikan serta menentukan nasib bangsa ini untuk masa yang akan datang. Baik buruknya bangsa ini erat kaitannya dengan kondisi riil para pelajar saat ini. Karena itu, keberadaan mereka harus senantiasa mendapatkan pengawalan, baik melalui pendekatan struktural organisasi maupun pendekatan-pendekatan yang bersifat kultural.
IPNU-IPPNU sebagai badan otonom termuda NU yang menjadi wadah bagi pelajar, remaja dan santri NU, memiliki jargon belajar, berjuang dan bertaqwa. Jargon ini sebenarnya merupakan simplifikasi dari visi besar IPNU-IPPNU, yaitu terwujudnya pelajar-pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan dan demokratis atas dasar ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Visi besar IPNU-IPPNU tersebut menjelaskan pada kita bahwa ada 3 hal yang sebenarnya menjadi bidikan utama dari ruang gerak IPNU-IPPNU, yaitu visi kepelajaran, visi sosial kebangsaan dan visi keislaman.

Dengan 3 visi itulah, IPNU-IPPNU bertekad dan selalu berusaha menjadi organisasi kepemudaan yang senantiasa menjadi garda depan bagi NU, khususnya di wilayah pengkaderan dan pengawalan nilai perjuangan NU yakni Islam ala ahlussunah wal jama’ah, guna membendung pengaruh dari kalangan yang anti terhadap NU, yaitu mereka yang bangga dengan jargon “bid’ah, kufur dan syirik” nya, dan juga mereka yang lantang menyuarakan jargon “khilafah”nya . Hal tersebut dilakukan IPNU-IPPNU melalui upaya-upaya pemberian kesadaran kepada pelajar-pelajar tentang pemahaman hakikat dari Islam sebagai agama yang rahmat bagi semesta. Kemudian upaya-upaya pemakmuran masjid dan musholla dengan mengaktifkan kegiatan tradisi ke-NU-an (Yasinan, Shalawatan dan Ratiban), agar tidak ada lagi kasus perebutan musholla ataupun masjid NU sebagaimana yang sering diberitakan.

Ikhtiar lain yang juga dilakukan oleh IPNU-IPPNU dalam merealisasikan visinya ialah pemberian kesadaran pada santri-santri pesantren tentang kaidah-kaidah interkoneksitas antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh KH. Wahab Hasbullah pada IPNU (termasuk juga IPPNU). Agar IPNU mampu menjadi media penghubung bagi dikotomi (pemisahan) keilmuan yang terjadi antara ilmu agama (Pesantren) dan ilmu umum, agar tercapai suatu keserasian di antaranya. Melalui upaya penyadaran tersebut, diharapkan nantinya akan lahir dari NU generasi-generasi yang tidak hanya memiliki bakat (skill) untuk menjadi seorang ustadz atau kiyai, tapi juga memiliki bakat untuk terjun diberbagai bidang dan profesi, baik hukum, kenegaraan, kesehatan dan lain sebagainya. Melalui kolaborasi antara ilmu “agama” dan ilmu “umum” ini juga nantinya diharapkan akan terlahir manusia-manusia yang tidak hanya memilki SDM yang unggul, tapi juga memiliki nilai-nilai relegiusitas tinggi yang teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian adalah gambaran singkat mengenai lingkup perjuangan serta berbagai ikhtiar yang dilakukan oleh IPNU-IPPNU untuk ikut berperan aktif dalam dunia kepemudaan dan kependidikan di Indonesia, agar IPNU-IPPNU bisa menjadi contoh yang baik bagi generasi muda di masa-masa yang akan datang. Wallahu ‘alam bi as-shawab

* Tulisan ini dimuat di buletin Med!n@ edisi ke-10
** Penulis pernah menjabat sebagai ketua umum IPNU Komisariat IAIN Sunan Ampel masa khitmat 2008-2009

Sabtu, 19 Juni 2010

Refleksi Tahun Baru Hijriyah


Tahun baru hijriyah sudah di depan mata kaum muslimin. Tanggal 18 Desember 2009 bertepatan dengan 1 Muharram 1431 H merupakan tahun baru Islam. Tahun baru yang spiritnya sudah mulai tererosi oleh budaya luar. Tahun baru yang dirayakan umat Islam kini hampa kwalitas walau sebenarnya kwantitas kaum muslim tak diragukan lagi.
Tahun Hijriyah yang kita kenal sekarang adalah berangkat dari sejarah hijrah Nabi SAW bersama para sabiqulan awwalun dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Itulah tonggak sejarah Islam. Tapi, akhir-akhir ini spirit hijrahnya Rosulullah SAW sudah mulai terkikis habis. Bahkan hanya mengingat nama-nama bulan hijriyah pun umat muslim tak bersemangat. Apalagi spirit hijrah yang begitu mulia. Benarkah?

Makna Hijrah
Hijrah mengandung Hikmah yang besar sekali kepada perkembangan Islam yang dibawa oleh Rasulallah SAW. Hijrahnya Nabi SAW ke Yathrib (Madinah) telah berjaya menyatupadukan segenap kekuatan yang ada. Rasulallah SAW telah berjaya mendamaikan antara kaum Aus dan Khazraj yang sebelumnya saling bermusuhan beratus tahun lamanya. Menyatukan Muhajirin dan Anshar dengan cara mempersaudarakan antara mareka satu dengan lainnya. Hijrah juga telah berjaya menyatupadukan semua kekuatan yang ada diantara kaum dan agama di Madinah. Nabi SAW telah berjaya melahirkan Piagam Madinah dimana semua kaum dan Agama dibawah pimpinan Nabi SAW berjanji bekerjasama mempertahankan Negara Madinah dari serangan musuh. Semua kaum dan agama bebas melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada kita semua, memberikan inspirasi penting untuk membangun sebuah peradaban baru di masa yang akan datang, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana beliau mulai membangun peradaban Islam dari tataran induvidual menuju ataran sosial yang lebih baik.

Dari Madinah lah kita menyaksikan apa yang dikenal dengan persamaan di depan hukum dan pemerintahan, dipraktekkan secara bermartabat dan beradab, dari Madinah pula kita menyaksikan bagaimana hukum ditegakkan secara lugas, tidak pandang bulu. Siapapun itu, orang Islam, sahabat, ataupun anak nabi sendiri apabila melakukan kejahatan maka akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seharusnya Indonesia berkaca pada keberhasilan rasul membangun negara Madinah.

Dari sekian ragam peristiwa penting Islam, peristiwa hijrah sesungguhnya menempati posisi yang utama. Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab, melainkan juga menjadi titik balik peradaban Islam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam. Harapannya, tentu di samping memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual.

Puncak kegemilangan sejarah Islam lewat momen hijriyah patut dibilang sebagai sebuah revolusi tanpa kekerasan yang pertama kali dalam sejarah. Dalam waktu yang cukup singkat Muhammad mampu mengubah wajah Kota Madinah dari pola masyarakat yang diskriminatif, primordialis-fanatis dan eksklusif menjadi masyarakat yang terbuka, egaliter, dan penuh dengan nilai-nilai persaudaraan. Kota Madinah yang awalnya selalu diselimuti oleh pertentangan antarsuku menjadi komunitas yang dipenuhi oleh semangat kolektif untuk membentuk peradaban baru.

Atas kesuksesan ini sangat beralasan bila Michael Hart dalam The 100: A Rangking of The Most Influental Person in History telah menempatkan Muhammad pada urutan pertama. Muhammad tidak hanya sukses membangun peradaban baru Islam tetapi juga mampu mengkombinasikan unsur sekuler dan agama dalam satu racikan peradaban Madina. Muhammad tidak hanya tampil sebagai seorang agamawan yang selalu mendermakan pesan spiritualnya, tetapi ia juga tampil sebagai negarawan yang adil dan bijaksana. Islam telah didudukkan tidak hanya sebagai agama yang berisi panduan ritual, tetapi juga sebagai etik-moral yang selalu hidup di tengah masyarakat.

Menyadari keagungan sejarah “hijrah” ini maka tidak khilaf apabila umat Islam menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini mempunyai arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madinah.

Setiap tahun kaum muslim kembali diingatkan dengan memori keemasan sejarahnya. Dan, setiap tahun pula semangat dan makna hijriyah ini akan menjadi kekuatan yang merevitalisasi dan mampu mendorong semangat umat Islam. Tentunya semangat hijrah diharapkan mampu menjadi semangat baru bagi umat Islam dalam memulai sejarahnya pada detik ini dan pada masa selanjutnya. Karenanya, makna hijriyah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik.

Refleksi Hijrah
Melihat kenyataan ini Indonesia tampaknya harus menjalani hukum sejarah dari sebuah peradaban. Tentunya bangsa ini tidak memaknai “hijrah” dengan perpindahan fisik layaknya “hijrah”nya Nabi meningalkan Makkah. Yang bisa dilakukan oleh bangsa ini adalah hijrah maknawi. Artinya, bangsa Indonesia butuh semangat “hijrah” dari kemerosotan ekonomi, sosial, politik dan hukum menuju peradaban yang mencerahkan. Peradaban yang lebih menjamin kesejahteraan masyarakat, keterbukaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Tahun baru hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, hijriyah yang diperingati oleh umat Islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang subtantif, produktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial.

Pada momen ini bangsa Indonesia berkesempatan untuk menguak makna dan semangat hijriyah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah berarti pula berubah untuk membangun peradaban baru seperti Nabi meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban. Semoga bangsa Indonesia mampu “hijrah” dari pelbagai penderitaan, mulai dari penderitaan kemiskinan, kelaparan, dan supremasi hukum yang membelitnya menuju bangsa yang berperadaban dan berkeadaban, yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.

* Tulisan ini dimuat dalam buletin Med!n@ edisi ke-9
** Penulis pernah menjabat sebagai koordinator lembaga penerbitan dan pers masa khidmat 2009-2010

Kamis, 03 Juni 2010

Mars IPPNU

Sirnalah gelap terbitlah terang
Mentari timur sudah bercahya
Ayunkan langkah pukul genderang
Segala rintangan mundur semua

Tiada laut sedalam Iman
Tiada gunung setinggi cita
Sujud kepala kepada tuhan
Tegak kepala lawan derita

Dimalam yang sepi di pagi yang terang
Hatiku teguh bagimu ikatan
Dimalam yang hening di hati membakar
Hatiku penuh bagimu pertiwi

Mekar seribu bunga di taman
Mekar cintaku pada ikatan
Ilmu kucari amal kuberi
Untuk agama, bangsa, negeri

Mars IPNU

Wahai Pelajar Indonesia
Siapkanlah barisanmu
Bertekad bulad bersatu
Di bawah kibaran panji IPNU

Ayo hai pelajar, Islam yang setia
Tegakkanlah agamamu
Dalam negara Indonesia
Tanah Air yang kucinta

Dengan berpedoman kita belajar
Berjuang serta bertakwa
Kita bina watak Nusa dan Bangsa
Tuk kejayaan masa depan

Bersatu wahai pelajar islam jaya
Tunaikanlah kewajiban yang mulia
Ayo maju, pantang mundur
Dengan Rahmat Tuhan kita perjuangkan

Ayo maju pantang mundur
Pasti tercapai adil makmur

Ke-NU-an

Sejarah Kelahiran NU dan Perkembangannya
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.


Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan Kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Tujuan Organisasi NU
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur Organisasi NU
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Perangkat Organisasi
Dalam menjalankan programnya, NU mempunyai 3 perangkat organisasi:
1. Badan Otonom (Banom)
Adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
NU mempunyai 10 Banom, yaitu:
a) Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMN) Membantu melaksanakan kebijakan pada pengikut tarekat yang mu’tabar (diakui) di lingkungan NU, serta membina dan mengembangkan seni hadrah
b) Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH)
Melaksanakan kebijakan pada kelompok qari’/qari’ah (Pembaca Tilawah Al-Quran) dan hafizh/hafizhah (penghafal Al-Quran).
c) Muslimat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan NU
d) Fatayat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan muda NU
e) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Melaksanakan kebijakan pada anggota pemuda NU. GP Ansor menaungi Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang menjadi salah satu unit bidang garapnya.
f) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahasiswa, dan santri laki-laki. IPNU menaungi CBP (Corp Brigade Pembangunan), semacam satgas khususnya.
g) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahsiswa, dan santri perempuan. IPPNU menaungi KKP (Kelompok Kepanduan Putri) sebagai salah satu bidang garapnya.
h) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Membantu melaksanakan kebijakan pada kelompok sarjana dan kaum intelektual.
i) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan dan pengembangan ketenagakerjaan.
j) Pagar Nusa
Melaksanakan kebijakan pada pengembangan seni beladiri.
2. Lajnah
Adalah perangkat organisasi untuk melaksanakan program yang memerlukan penanganan khusus. NU mempunyai 2 lajnah, yaitu:
a) Lajnah Falakiyah
Bertugas mengurusi masalah hisab dan rukyah, serta pengembangan ilmu falak (astronomi).
b) Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN)
Bertugas mengembangkan penulisan, penerjemahan dan penerbitan kitab/buku, serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah.
3. Lembaga
Adalah perangkat departementasi organisasi yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, berkaitan dengan suatu bidang tertentu. NU mempunyai 14 lembaga, yaitu:
a) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dakwah agama Islam yang menganut faham ahlussunnah wal jamaah.
b) Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif NU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan dan pengajaran formal.
c) Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah (RMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan pondok pesantren.
d) Lembaga Perekonomian NU (LPNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan ekonomi warga.
e) Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU)
Melaksanakan kebijakan di bidangan pengembangan pertanian, lingkungan hidup dan eksplorasi kelautan.
f) Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan keluarga, sosial, dan kependudukan.
g) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan pengembangan sumberdaya manusia.
h) Lembaga Penyuluhan dan Pemberian Bantuan Hukum (LPBHNU)
Melaksanakan penyuluhan dan pemberian bantuan hukum.
i) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan seni dan budaya.
j) Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZISNU)
Bertugas menghimpun, mengelola, dan mentasharufkan (menyalurkan) zakat, infaq, dan shadaqah.
k) Lembaga Waqaf dan Pertanahan (LWPNU)
Mengurus, mengelola serta mengembangkan tanah dan bangunan, serta benda wakaf lainnya milik NU.
l) Lembaga Bahtsul Masail (LBM-NU)
Membahas dan memecahkan masalah-masalah yang maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.
m) Lembaga Ta’miri Masjid Indonesia (LTMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid.
n) Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesehatan.

Kedudukan Ulama dalam NU
Sesuai namanya NU (kebangkitan para ulama), kedudukan ulama mendapat kedudukan yang tinggi, karena "ulama adalah pewaris para Nabi". Ulama, sebagai panutan umat, mendapat penghormatan yang tinggi di kalangan NU. Mereka bukan hanya tempat untuk menimba ilmu, tetapi juga tempat untuk diminta nasihatnya, diminta doanya, juga kadang diminta barakahnya (bagi sebagian orang ini dianggap syirk). Di kalangan NU, kebiasaan mencium tangan ulama, sebagai penghormatan sebagaimana juga kepada orang tua, menjadi semacam kesopanan (courtesy). Di masa lalu, bahkan untuk memberi nama sering meminta nasihat dulu dari para ulama. Penghormatan mereka bukanlah untuk memuja, tetapi sebagai penghormatan dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang diberikan para kyai.

Faktor Kepemimpinan NU
Secara umum bisa disebut dua ciri utama NU, yaitu pluralitas dan berakar pada basis masyarakat di bawah yang keduanya saling berhubungan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah memiliki tradisi yang kuat dan dalam di dalam masyarakat bukan hanya dalam sosial dan politik melainkan juga praktik kultural dan keagamaan. Kedua, buah dari tradisi itu, maka lahir pluralitas dalam ekspresi dan response terhadap tantangan sosial politik kultural yang berkembang.

Dari kedua hal di atas melahirkan kepemimpinan yang juga berbasis lokal dan pemimpin yang selalu membawa aspirasi "umat" di bawah ketimbang menggantung ke atas. Seperti pernah ditulis Prof. Mitsuo Nakamura atas Muktamar ke-26 di Semarang, kepemimpinan NU yang kuat di akar rumput membuat kepemimpinan di pusat harus lebih mendengar suara dari para pemimpin lokal tersebut ketimbang beradu argumentasi secara rasional dalam soal benar dan salah. Keempat, karena kuatnya kepemimpinan mengakar ke bawah membuat pluralitas sikap dan pandangan mereka atas berbagai gejala dan tuntutan yang datang dari atas, termasuk dari pemerintah dan juga dari pihak lain. Pemimpin pusat bertugas untuk merangkum dan merumuskan segi-segi pokok aspirasi mereka pada tingkat pusat tanpa harus disertai dengan upaya penyeragaman di antara mereka.

Faktor Keagamaan NU
Pada kasus NU, ada dua terma keagamaan yang menjadi potensi politis. Pertama, tradisi keagamaan. NU menjadikan Islam sebagai agama hukum. Fiqh kemudian menjadi rujukan kaum tradisionalis Islam dalam memutuskan segala perkara, terlebih persoalan hukum dalam politik. Dengan nalar hukum ini, NU menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis, sebab fiqh menyediakan pluralisme madzab yang memberi banyak alternatif pengambilan keputusan. Dua adaptasi yang manis seperti pengakuan Pancasila sebagai azas negara, menjadi counter balancing bagi pilihan ideologisasi Islam yang menginginkan Islam masuk dalam UUD 45, serta penghalalan terhadap presiden perempuan untuk kasus Megawati.

Ke-Aswaja-an

Pengertian Ahlussunnah Wal-Jama'ah
Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata. Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan. Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan prilaku), baik jalan dan prilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Dalam konteks ini, Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy'ari mengatakan,

اَلسُّنَّةُ كَمَا قَالَ اَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّاتِهِ: لُغَةً الطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةً، وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَمٌ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، لِقَوْلِهِ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ. (الشيخ محمد هاشم اشعري، رسالة اهل السنة والجماعة، ص/5).
“Sunnah seperti dikatakan oleh Abu al-Baqa' dalam kitab al-Kulliyyat, karangannya, secara kebahasaan adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan al-sunnah menurut istilah syara' ialah nama bagi jalan dan prilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah atau orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam beragama seperti para sahabat –radhiyallahu 'anhum-, berdasarkan sabda Nabi , "Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku."

Ketiga kata al-jama'ah. Secara etimologis kata al-jama'ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-jama'ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a'zham), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin.

Pengertian bahwa al-jama'ah adalah al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ J يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في مسند الشاميين (2069) وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88).
Dari Anas bin Malik, berkata: "Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas."

Dasar-Dasar Faham Aswaja
Pokok-pokok keyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan lain-lain menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah harus dilandasi oleh dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i) dari al-Qur'an, hadits, ijma' ulama dan argumentasi akal yang sehat (Qiyas).

Kaitannya dengan pengamalan tiga sendi utama ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari, golongan Ahlussunnah wal jamaah mengikuti rumusan yang telah digariskan oleh ulama’ salaf, yakni :
1. Dalam bidang teologi (akidah/tauhid) tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidy. Dalam hal ini al-Hafizh al-Zabidi mengatakan:
(إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِمُ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ)
“Apabila Ahlussunnah Wal-Jama'ah disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah pengikut madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi ” (Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, juz 2 hal. 6).
2. Dalam masalah fiqih terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni Madzhab al-Hanafi, Madzhab al-Maliki, Madzhab al-Syafi’i dan Madzhab al-Hanbali.
3. Dalam bidang Tasawuf mengikuti imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.

Karakteristik Faham Aswaja
1. At-Tawassuth dan i’tidal, yaitu bersikap moderat, tidak ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri. Suatu sikap yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah kehidupan bersama.
2. At-Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah, menyerasikan kepada Allah Swt, khidmah kepada sesama manusia serta khidmah kepada lingkungan hidupnya.
3. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyrakatan dan kebudayaan.
4. Amar Ma’ruf nahi Mungkar, yakni selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam tataran praktis, prinsip-prinsip ini terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut :
1. Akidah
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil aqli dan naqli
b. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir tanpa adanya dasar yang dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan.
c. Adanya teori kasb (perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya).
2. Syariah
a. Berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang jelas (qath’i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam peghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman pada akhlak yang luhur. Misalnya sikap Syaja’ah (antara penakut dan ngawur atau semberono), sikap Tawadlu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma agama.
b. Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima dari manapun datangnya, sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Wallahu ‘alam.........................

Ke-IPPNU-an

Latar belakang sejarah kelahiran IPPNU
Sejarah perjuangan IPPNU dimulai sejak kelahirannya pada tanggal 2 Maret 1955, di Malang dan salah satu pendirinya bernama Umroh Mahfudhoh. Dengan kepanjangan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatu Ulama, maka dasar berpijak IPPNU dikonsentrasikan bermula pada pembinaan dan pengkaderan remaja putri NU yang masih duduk dibangku sekolah atau madrasah tingkat menengah dan tingkat atas, serta santri putri yang statusnya setaraf dengan sekolah-sekolah tersebut.


IPPNU didirikan atas dasar :
a. Keinginan sebagai wadah aktivitas social dan program remaja yang bercirikan amaliah keagamaan sebagai antisipasi munculnya gejala social yang semakin terpengaruh oleh menampakkan sisi-sisi negative perilaku kehidupan remajanya pada waktu itu setelah sepuluh tahun Indonesia merdeka.
b. Sebagai wadah pengkaderan remaja-remaja NU agar berada pada posisi on the right track, berjalan pada arah yang sesungguhnya ,sehingga nilai-nilai NU yang berazaskan Ahlussunnah Waljamaa’ah tetap bisa terjaga keaslian dan kemurniannya, terutama ketika dimanifestasikan dalam tingkah laku dan sikapnya di tengah-tengah pluralitas masyarakat Indonesia.

Sifat, Fungsi, Azas dan Aqidah
a. Sifat
IPPNU bersifat keterpelajaran, kekeluargaan , kemasyarakatan dan keagamaan.
b. Fungsi
o Wadah berhimpun pelajar Nu untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-nilai nahdliyin
o Wadah komunikasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syariat Islam
o Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syaria’at Islam
c. Azas
Berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Aqidah
Beraqidah Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah dengan mengikuti salah satu madzhab hanafi, syafi’i, maliki dan hambali

Tujuan
1. Membangun kader Nu yang berkualitas, berakhlakul karimah, bersifat demokratis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Mengembangkan wacana dan kualitas sumber daya kader menuju terciptanya kesetaraan gender.
3. Membentuk kader yang dinamis, kreatif dan inovatif.

Struktur Organisasi IPPNU

Kedudukan di Ibu Kota
Negara RI


Kedudukan di Ibu Kota
Propinsi


Kedudukan Ibu Kota
Kabupaten, kotamadya


Kedudukan di
Kecamatan


Kedudukan di Ibu kota
Desa / Kelurahan


Bentuk Lambang Organisasi
1. Lambang organisasi berbentuk segitiga sama kaki dengan ukuran atas sama dengan tinggi.
2. Warna dasar hujau, dikelilingi garis warna kuning yang kedua tepinya diapit oleh warna putih
3. Isi lambang
4. Bintang sembilan yang sebuah besar terletak diatas.
5. Empat buah menurun disisi kiri dan empat buah lainnya menurun disisi kanan dan berwarna kuning.
6. Dua kitab dan bulu angsa bersilang warna putih serta dua bunga melati putih di kedua ujung bawah lambang.
7. Tulisan IPPNU dengan lima titik di antaranya , tertulis dibawah bulu dan berwarna putih.

Arti Lambang Organisasi
1. Warna hijau : Kebenaran, kesuburan serta dinamis
2. Warna putih: kesucian, kejernihan serta kebersihan
3. Warna Kuning : hikmah yang tinggi / kejayaan
4. Segitiga : Iman, Islam dan Ihsan
5. Dua buah garis tepi mengapit warna kuning : dua kalimat syahadat
6. Sembilan bintang : keluarga Nahdlatul Ulama, yang artinya satu bintang besar paling atas : Nabi Muhammad SAW
7. Empat bintang disebelah kanan : Empat sahabat Nabi ( Abu Bakar as, Umar Ibn Khatab as, Usman Ibn Affan as dan Ali Ibn Abi Tholib as)
8. Empat bintang disebelah kiri : empat madzhab yang diikuti ( Maliki, Hanafi, syafi’I dan Hambali)
9. Dua kitab : Al-Qur’an dan Hadits
10. Dua bulu bersilang : aktif menulis dan membaca untuk menambah wacana berfikir.
12. Dua bunga melati : Perempuan yang dengan kebersihan pikiran dan kesucian hatinya memadukan dua dasar ilmu pengetahuan umum dan agama.
13. Lima titik di antara tulisan I.P.P.N.U ; Rukun Islam

Hubungan IPPNU dengan NU beserta banom-banomnya serta ormas lain
Secara intern IPPNU merupakan perangkat dan badan otonom NU yang secara kelembanggan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan otonom lain seperti Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, IPNU. Tugas utama badan otonom adalah melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu, Masing-masing badan otonom hanya dapat dibedakan dengan melihat orientasi, bidang garapan dan terget group masing-masing.

Secara ekstern, IPPNU mempunyai kedudukan yang sejajar dengan ormas-ormas pemuda Indonesia lainya untuk bergabung dan berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan generasi muda di Indonesia.

Ke-IPNU-an

Apa itu IPNU ?
IPNU adalah wadah berhimpun dan berorganisasi generasi muda terpelajar, santri, mahasiswa ataupun yang putus sekolah, yang berada satu kibaran panji Nahdlatul Ulama. Sebagai wadah penempaan diri, berjuang dan berinteraksi sosial dengan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.


Bagaimana sejarah terbentuknya IPNU ?
Sebelum berdirinya IPNU, terdapat organisasi sebagai wadah berhimpunnya murid murid sekolah umum dan santri pondok pesantren yang diasuh oleh para ulama NU. Baik yang berdomisili diperkotaan maupun di pedesaan. Adapun embrio lahirnya IPNU diawali dengan telah berdirinya :
1. Tahun 1936 di Surabaya berdiri Tsamroytul Mustafiddin
2. Tahun 1939 di Surabaya berdiri Persatuan Siswa Anak NO (PERSANO)
3. Tahun 1941 di Malang berdiri Persatuan Murid NO
4. Tahun 1945 di Malang saat terjadi perang fisik, berdiri Ikatan Murid NO (IMNO)
5. Tahun 1945 di Madura berdiri Ijmauth Tholibin. Yang kemudian disusul Subhanul Muslimin.
6. Tahun 1950 di Semarang berdiri Ikatan Mubaligh NU
7. Tahun 1953 di Kediri berdiri persatuan pelajar NU (PERPENU)
8. Tahun 1953 di Bangil berdiri Ikatan pelajar NU (IPENU)
Dari perkumpulan dan organisasi tersebut diatas, ternyata aktifitasnya tampak serupa dalam Visi dan Misinya, akan tetapi sifatnya saat itu masih lokal. Maka ketika diselenggarakannya kongres lembaga pendidikan Ma’arif NU di Semarang, pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1373 H / 24 februari 1954 M. Memutuskan berdirinya IPNU (Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama). Sejak berdiri IPNU menjadi bagian dari LP ma’arif, dan baru tahun 1966 saat kongres IPNU di surabaya, IPNU resmi melepas diri dari LP Ma’arif dan menjadi salah satu badan otonom NU. Salah seorang tokoh pendiri IPNU adalah KH.Dr. Tholhah Mansyur.

Semula IPNU merupakan pendekatan diri ikatan pelajar Nahdlatul Ulama, akan tetapi pada kongres ke-X di pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar- Jombang pada tanggal 29-30 Januari 1988, IPNU menjadi singkatan Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Keputusan mengenai perubahan tersebut tertuang dalam keputusan No. II, point 4. dari keputusan kongres ke-X Jombang ini kemudian dikenal dengan “Deklarasi Jombang”. Adapun yang melatar belakang perubahan nama tersebut dikarenakan pada saat itu pemerintah hanya mengakui keberadaan organisasi di sekolah, yaitu OSIS dan Pramuka. Akan tetapi akan kongres ke-XIV di asrama haji tahun 2003, singkatan IPNU dikembalikan ke Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Meskipun demikian perubahan nama tersebut tidak mengurangi arti dan isi pokok perjuangan IPNU dilahirkan.

Apa saja yang berada di dalamnya?
Azas, Aqidah dan Sifat :
Sesuai PD/PRT (peraturan dasar/peraturan Rumah tangga)
1. Asas
IPNU berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Manusia yang adil dan beradap, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Aqidah
IPNU berakidah Islam yang berhaluan Aswaja dengan mengikuti salah satu madzab : Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Hambali.
3. SifatIPNU bersifat keterpelajaran, kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan.
Fungsi IPNU adalah :
1. Wadah berhimpun pelajar NU untuk melanjutkan semangat jiwa dan nilai-nilai Nahdliyin.
2. Wadah komunikasi pelajar NU dalam perlaksanaan dan pengembangan syariat Islam.
3. Wadah aktualisasi pelajar NU dalam pelaksanaan dan pengembangan syarait Islam.
4. Wadah kaderisasi pelajar NU untuk mempersiapkan kader kader bangsa.

Tujuan IPNU :
IPNU bertujuan membentuk pelajar bangsa yang bertakwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak mulia. Dan berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat Islam menurut faham ahlus sunnah wal jamaah dalam kehidupan masyarakat indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Bagaimana usaha kerjanya ?
1. Menghimpun dan membina pelajar NU dalam satu wadah organisasi IPNU
2. Mempersiapkan kader kader Intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan terciptanya tujuan organisasi dengan menyusun landasan program perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (masalatul Ummah), guna terwujudnya nabadi khoirul Ummah.
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak merugikan organisasi.

Apa Lambangnya ?• Lambang organisasi berbentuk bulat• Warna dasar hijau, berlingkar kuning tepinya diapit dua lingkaran putih
• Dibagian atas tercantum huruf IPNU dengan tiga titik diantaranya dan diapit oleh tiga garis lurus pendek yang satu diantaranya lebih panjang dari pada di bagian kanan dan kirinya, semuanya warna putih.
• Dibawahnya terdapat bintang sembilan, lima terletak sejajar yang satu diantaranya lebih besar ditengah, dan empat bintang lainnya terletak mngapit membentuk sudut segi tiga. Semuanya berwarna kuning.
• Diantaranya bintang yang mengapit terdapat dua kitab dan dua bulu angsa bersilang berwarna putih.

Arti Lambangnya :
• Warna hijau : kebenaran, kesuburan
• Warna putih : kesucian serta kebersihan
• Warna kuning : Hikmah yang tinggi atau kejayaan
• Dua garis tepi mengapit warna kuning : dua kalimat syahadat.
• Sembilan bintang : Nabi muhammad SAW, Khulafaurrosidin (Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin Khottob, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Tholib), empat mazab yang dikuti (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali)
• Dua kitab : Al-qur’an dan hadist.
• Dua bulu bersilang : Aktif mencari ilmu umum dan agama.
• Titik tiga : Iman, Islam, dan Ihsan