Kamis, 03 Juni 2010

Ke-NU-an

Sejarah Kelahiran NU dan Perkembangannya
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.


Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan Kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Tujuan Organisasi NU
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Struktur Organisasi NU
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Perangkat Organisasi
Dalam menjalankan programnya, NU mempunyai 3 perangkat organisasi:
1. Badan Otonom (Banom)
Adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
NU mempunyai 10 Banom, yaitu:
a) Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMN) Membantu melaksanakan kebijakan pada pengikut tarekat yang mu’tabar (diakui) di lingkungan NU, serta membina dan mengembangkan seni hadrah
b) Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH)
Melaksanakan kebijakan pada kelompok qari’/qari’ah (Pembaca Tilawah Al-Quran) dan hafizh/hafizhah (penghafal Al-Quran).
c) Muslimat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan NU
d) Fatayat
Melaksanakan kebijakan pada anggota perempuan muda NU
e) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Melaksanakan kebijakan pada anggota pemuda NU. GP Ansor menaungi Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang menjadi salah satu unit bidang garapnya.
f) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahasiswa, dan santri laki-laki. IPNU menaungi CBP (Corp Brigade Pembangunan), semacam satgas khususnya.
g) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Melaksanakan kebijakan pada pelajar, mahsiswa, dan santri perempuan. IPPNU menaungi KKP (Kelompok Kepanduan Putri) sebagai salah satu bidang garapnya.
h) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Membantu melaksanakan kebijakan pada kelompok sarjana dan kaum intelektual.
i) Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan dan pengembangan ketenagakerjaan.
j) Pagar Nusa
Melaksanakan kebijakan pada pengembangan seni beladiri.
2. Lajnah
Adalah perangkat organisasi untuk melaksanakan program yang memerlukan penanganan khusus. NU mempunyai 2 lajnah, yaitu:
a) Lajnah Falakiyah
Bertugas mengurusi masalah hisab dan rukyah, serta pengembangan ilmu falak (astronomi).
b) Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN)
Bertugas mengembangkan penulisan, penerjemahan dan penerbitan kitab/buku, serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal jama’ah.
3. Lembaga
Adalah perangkat departementasi organisasi yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, berkaitan dengan suatu bidang tertentu. NU mempunyai 14 lembaga, yaitu:
a) Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dakwah agama Islam yang menganut faham ahlussunnah wal jamaah.
b) Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif NU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan dan pengajaran formal.
c) Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah (RMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan pondok pesantren.
d) Lembaga Perekonomian NU (LPNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan ekonomi warga.
e) Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU)
Melaksanakan kebijakan di bidangan pengembangan pertanian, lingkungan hidup dan eksplorasi kelautan.
f) Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesejahteraan keluarga, sosial, dan kependudukan.
g) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan pengembangan sumberdaya manusia.
h) Lembaga Penyuluhan dan Pemberian Bantuan Hukum (LPBHNU)
Melaksanakan penyuluhan dan pemberian bantuan hukum.
i) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan seni dan budaya.
j) Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZISNU)
Bertugas menghimpun, mengelola, dan mentasharufkan (menyalurkan) zakat, infaq, dan shadaqah.
k) Lembaga Waqaf dan Pertanahan (LWPNU)
Mengurus, mengelola serta mengembangkan tanah dan bangunan, serta benda wakaf lainnya milik NU.
l) Lembaga Bahtsul Masail (LBM-NU)
Membahas dan memecahkan masalah-masalah yang maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.
m) Lembaga Ta’miri Masjid Indonesia (LTMI)
Melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid.
n) Lembaga Pelayanan Kesehatan (LPKNU)
Melaksanakan kebijakan di bidang kesehatan.

Kedudukan Ulama dalam NU
Sesuai namanya NU (kebangkitan para ulama), kedudukan ulama mendapat kedudukan yang tinggi, karena "ulama adalah pewaris para Nabi". Ulama, sebagai panutan umat, mendapat penghormatan yang tinggi di kalangan NU. Mereka bukan hanya tempat untuk menimba ilmu, tetapi juga tempat untuk diminta nasihatnya, diminta doanya, juga kadang diminta barakahnya (bagi sebagian orang ini dianggap syirk). Di kalangan NU, kebiasaan mencium tangan ulama, sebagai penghormatan sebagaimana juga kepada orang tua, menjadi semacam kesopanan (courtesy). Di masa lalu, bahkan untuk memberi nama sering meminta nasihat dulu dari para ulama. Penghormatan mereka bukanlah untuk memuja, tetapi sebagai penghormatan dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang diberikan para kyai.

Faktor Kepemimpinan NU
Secara umum bisa disebut dua ciri utama NU, yaitu pluralitas dan berakar pada basis masyarakat di bawah yang keduanya saling berhubungan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah memiliki tradisi yang kuat dan dalam di dalam masyarakat bukan hanya dalam sosial dan politik melainkan juga praktik kultural dan keagamaan. Kedua, buah dari tradisi itu, maka lahir pluralitas dalam ekspresi dan response terhadap tantangan sosial politik kultural yang berkembang.

Dari kedua hal di atas melahirkan kepemimpinan yang juga berbasis lokal dan pemimpin yang selalu membawa aspirasi "umat" di bawah ketimbang menggantung ke atas. Seperti pernah ditulis Prof. Mitsuo Nakamura atas Muktamar ke-26 di Semarang, kepemimpinan NU yang kuat di akar rumput membuat kepemimpinan di pusat harus lebih mendengar suara dari para pemimpin lokal tersebut ketimbang beradu argumentasi secara rasional dalam soal benar dan salah. Keempat, karena kuatnya kepemimpinan mengakar ke bawah membuat pluralitas sikap dan pandangan mereka atas berbagai gejala dan tuntutan yang datang dari atas, termasuk dari pemerintah dan juga dari pihak lain. Pemimpin pusat bertugas untuk merangkum dan merumuskan segi-segi pokok aspirasi mereka pada tingkat pusat tanpa harus disertai dengan upaya penyeragaman di antara mereka.

Faktor Keagamaan NU
Pada kasus NU, ada dua terma keagamaan yang menjadi potensi politis. Pertama, tradisi keagamaan. NU menjadikan Islam sebagai agama hukum. Fiqh kemudian menjadi rujukan kaum tradisionalis Islam dalam memutuskan segala perkara, terlebih persoalan hukum dalam politik. Dengan nalar hukum ini, NU menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis, sebab fiqh menyediakan pluralisme madzab yang memberi banyak alternatif pengambilan keputusan. Dua adaptasi yang manis seperti pengakuan Pancasila sebagai azas negara, menjadi counter balancing bagi pilihan ideologisasi Islam yang menginginkan Islam masuk dalam UUD 45, serta penghalalan terhadap presiden perempuan untuk kasus Megawati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar