Sabtu, 19 Juni 2010

Refleksi Tahun Baru Hijriyah


Tahun baru hijriyah sudah di depan mata kaum muslimin. Tanggal 18 Desember 2009 bertepatan dengan 1 Muharram 1431 H merupakan tahun baru Islam. Tahun baru yang spiritnya sudah mulai tererosi oleh budaya luar. Tahun baru yang dirayakan umat Islam kini hampa kwalitas walau sebenarnya kwantitas kaum muslim tak diragukan lagi.
Tahun Hijriyah yang kita kenal sekarang adalah berangkat dari sejarah hijrah Nabi SAW bersama para sabiqulan awwalun dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Itulah tonggak sejarah Islam. Tapi, akhir-akhir ini spirit hijrahnya Rosulullah SAW sudah mulai terkikis habis. Bahkan hanya mengingat nama-nama bulan hijriyah pun umat muslim tak bersemangat. Apalagi spirit hijrah yang begitu mulia. Benarkah?

Makna Hijrah
Hijrah mengandung Hikmah yang besar sekali kepada perkembangan Islam yang dibawa oleh Rasulallah SAW. Hijrahnya Nabi SAW ke Yathrib (Madinah) telah berjaya menyatupadukan segenap kekuatan yang ada. Rasulallah SAW telah berjaya mendamaikan antara kaum Aus dan Khazraj yang sebelumnya saling bermusuhan beratus tahun lamanya. Menyatukan Muhajirin dan Anshar dengan cara mempersaudarakan antara mareka satu dengan lainnya. Hijrah juga telah berjaya menyatupadukan semua kekuatan yang ada diantara kaum dan agama di Madinah. Nabi SAW telah berjaya melahirkan Piagam Madinah dimana semua kaum dan Agama dibawah pimpinan Nabi SAW berjanji bekerjasama mempertahankan Negara Madinah dari serangan musuh. Semua kaum dan agama bebas melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada kita semua, memberikan inspirasi penting untuk membangun sebuah peradaban baru di masa yang akan datang, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana beliau mulai membangun peradaban Islam dari tataran induvidual menuju ataran sosial yang lebih baik.

Dari Madinah lah kita menyaksikan apa yang dikenal dengan persamaan di depan hukum dan pemerintahan, dipraktekkan secara bermartabat dan beradab, dari Madinah pula kita menyaksikan bagaimana hukum ditegakkan secara lugas, tidak pandang bulu. Siapapun itu, orang Islam, sahabat, ataupun anak nabi sendiri apabila melakukan kejahatan maka akan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seharusnya Indonesia berkaca pada keberhasilan rasul membangun negara Madinah.

Dari sekian ragam peristiwa penting Islam, peristiwa hijrah sesungguhnya menempati posisi yang utama. Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab, melainkan juga menjadi titik balik peradaban Islam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam. Harapannya, tentu di samping memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual.

Puncak kegemilangan sejarah Islam lewat momen hijriyah patut dibilang sebagai sebuah revolusi tanpa kekerasan yang pertama kali dalam sejarah. Dalam waktu yang cukup singkat Muhammad mampu mengubah wajah Kota Madinah dari pola masyarakat yang diskriminatif, primordialis-fanatis dan eksklusif menjadi masyarakat yang terbuka, egaliter, dan penuh dengan nilai-nilai persaudaraan. Kota Madinah yang awalnya selalu diselimuti oleh pertentangan antarsuku menjadi komunitas yang dipenuhi oleh semangat kolektif untuk membentuk peradaban baru.

Atas kesuksesan ini sangat beralasan bila Michael Hart dalam The 100: A Rangking of The Most Influental Person in History telah menempatkan Muhammad pada urutan pertama. Muhammad tidak hanya sukses membangun peradaban baru Islam tetapi juga mampu mengkombinasikan unsur sekuler dan agama dalam satu racikan peradaban Madina. Muhammad tidak hanya tampil sebagai seorang agamawan yang selalu mendermakan pesan spiritualnya, tetapi ia juga tampil sebagai negarawan yang adil dan bijaksana. Islam telah didudukkan tidak hanya sebagai agama yang berisi panduan ritual, tetapi juga sebagai etik-moral yang selalu hidup di tengah masyarakat.

Menyadari keagungan sejarah “hijrah” ini maka tidak khilaf apabila umat Islam menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini mempunyai arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madinah.

Setiap tahun kaum muslim kembali diingatkan dengan memori keemasan sejarahnya. Dan, setiap tahun pula semangat dan makna hijriyah ini akan menjadi kekuatan yang merevitalisasi dan mampu mendorong semangat umat Islam. Tentunya semangat hijrah diharapkan mampu menjadi semangat baru bagi umat Islam dalam memulai sejarahnya pada detik ini dan pada masa selanjutnya. Karenanya, makna hijriyah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik.

Refleksi Hijrah
Melihat kenyataan ini Indonesia tampaknya harus menjalani hukum sejarah dari sebuah peradaban. Tentunya bangsa ini tidak memaknai “hijrah” dengan perpindahan fisik layaknya “hijrah”nya Nabi meningalkan Makkah. Yang bisa dilakukan oleh bangsa ini adalah hijrah maknawi. Artinya, bangsa Indonesia butuh semangat “hijrah” dari kemerosotan ekonomi, sosial, politik dan hukum menuju peradaban yang mencerahkan. Peradaban yang lebih menjamin kesejahteraan masyarakat, keterbukaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Tahun baru hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, hijriyah yang diperingati oleh umat Islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang subtantif, produktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial.

Pada momen ini bangsa Indonesia berkesempatan untuk menguak makna dan semangat hijriyah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah berarti pula berubah untuk membangun peradaban baru seperti Nabi meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban. Semoga bangsa Indonesia mampu “hijrah” dari pelbagai penderitaan, mulai dari penderitaan kemiskinan, kelaparan, dan supremasi hukum yang membelitnya menuju bangsa yang berperadaban dan berkeadaban, yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.

* Tulisan ini dimuat dalam buletin Med!n@ edisi ke-9
** Penulis pernah menjabat sebagai koordinator lembaga penerbitan dan pers masa khidmat 2009-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar